in

A Strange Ambulance (Ambulans Aneh)

Malas Baca? Dengerin Aja Ceritanya!

Waktu itu adalah malam Halloween, aku dan teman-temanku sedang berkendara menuju kuburan setempat di pinggir kota. Kami sudah terlalu tua untuk melakukan trick-or-treat dan terlalu malu-malu untuk ikut pesta, jadi kami memutuskan untuk masuk ke mobilku, dan pergi ke kuburan di tengah malam. 

Menghabiskan malam paling menakutkan tahun ini di antara orang mati adalah ide gilaku, dan, setelah berusaha mati-matian meyakinkan Buck dan Daisy, akhirnya mereka setuju untuk ikut. Rencanaku adalah kami sudah sampai di sana tepat di jam 12 malam: the witching hour. Konon katanya.. batas antara dunia kita dengan dunia spiritual menjadi sangat tipis pada saat Halloween

Malam ini terasa dingin dan hampa. Bintang-bintang tampak bersinar di langit malam yang gelap. Kuburan tua ini sudah tidak terawat dan dipenuhi rumput liar yang keluar dari batu nisan. Beberapa makam sudah berusia sangat tua, ada yang dari tahun 1800-an, hingga prajurit Perang Sipil pun dikubur di sini. 

Kami memarkir mobil kami di kaki bukit, melanjutkan pendakian dengan berjalan kaki, dan hanya dipersenjatai dengan sebuah senter saja. Buck dan Daisy sudah terbiasa mengikuti petualanganku. Ini bukan pertama kalinya mereka terpaksa menemaniku dalam perjalanan aneh ke kuburan. Mereka justru merasa wajib untuk ikut perjalanan kali ini karena sedang Halloween. Sama seperti yang sudah kukatakan kepada mereka berkali-kali, ini hanya terjadi satu kali dalam setahun. 

Kuburannya sebagian besar ada di jalanan bertanah, yang naik ke arah bukit tua yang tertutup rumput, dan cukup curam di beberapa bagian. Bukan tempat yang cocok untuk mengubur seseorang. Kami melintasi tanjakan yang curam itu, dengan berhati-hati melangkah melintasi rumput tinggi dan menghindari makam yang sudah tertutup tumbuhan liar. Aku menerangi jalan di depan dengan senter yang kami bawa. Buck dan Daisy mengikuti dari belakang.

“Kok lu sih yang pegang satu-satunya senter kita?”, tanya Daisy.

“Sudah kubilang kalian harus bawa senter kalian sendiri!”, jawabku.

“Gua ga percaya kita ikut petualangan aneh ini!”

“Dan salah siapa itu?”

Kami berhasil sampai di jalan tanah pertama dan berhenti. Batu nisannya berkilau saat aku menyorot mereka dengan senter. Kami mencoba mendengarkan dengan seksama, tapi malam itu benar-benar sunyi. Kami merasa terisolasi. Sepertinya tidak ada orang di dekat kami, bahkan mungkin sampai puluhan mil. Aku mematikan senternya, dan membuat kami ditelan kegelapan total. Tanpa ada bantuan pencahayaan apapun di sekitar kuburan ini, kami bahkan tidak bisa melihat tangan kami sendiri di depan mata. Rasanya sama seperti kami sedang menutup mata. Aku nyalakan kembali senternya. 

Kami melihat dua cahaya kuning saat aku mengarahkan lagi senternya ke sekitar kami. “Apa itu!?”, kata Buck yang terkejut. Aku coba mendekati cahaya itu. Dari rerumputan keluar seekor kelinci kecil dengan mata kuning yang bersinar karena pantulan cahaya. Kami bernafas lega dan merasa sedikit bodoh. Kelinci itu berlari ke arah atas bukit pemakaman tua itu dengan sebuah rumput panjang menggantung dari mulutnya. 

Saat kami baru mau mendaki lagi ke jalan tanah berikutnya, Kami mendengarnya; sebuah suara sirene dari kejauhan. Awalnya aku mengira itu adalah polisi yang datang untuk mengusir kami. Tapi saat kami memutar badan ke belakang, kami melihat sesuatu yang aneh: cahaya merah dari sebuah ambulan yang mendekat. 

Dengan terpecahnya kesunyian tadi, kami hanya berdiri menatap ke arah gerbang masuk pemakaman. Kami bisa melihat cahaya merah yang melewati ranting-ranting kering dari pohon musim gugur, dan juga ambulans yang berjalan di sepanjang Cemetery Drive ke arah kami dengan sirene yang keras. 

What do you think?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *