Tapi ada yang aneh dari sirene itu, suaranya tidak seperti yang biasa terdengar dari kendaraan darurat biasa. Ini seperti sirene tua, secara perlahan mengeluarkan tangisan yang lirih dan kesepian. Ambulans itu berhenti di bawah bukit tepat di belakang mobilku. Sirenenya tiba-tiba berhenti. Cahaya merah itu ikut mati juga. Aku melihat jam tanganku: tepat tengah malam.
Kami saling melihat, tidak yakin apa yang harus kami lakukan dan pikirkan tentang pengunjung dadakan ini. Kenapa ada ambulans yang berhenti di pemakaman? Kalau ini adalah cara pengurus kota untuk mengusir kami, ini metode yang sangat aneh. Pada akhirnya kami saling menunggu siapa yang akan bicara duluan.
“Umm, halo!?” Daisy akhirnya berteriak ke arah bawah bukit.
Tidak ada respon.
Kami bisa melihat siluet yang tidak terlalu jelas dari pengemudinya. Mereka hanya duduk diam di situ. Sama sekali tidak ada pergerakan. Awalnya kami berpikir untuk turun dari bukit ini dan menanyakan kenapa mereka ke sini, tapi ada sesuatu di dalam diri kami yang mencegah kami untuk turun. Sekali lagi kami hanya diam tidak bersuara. Aku mencoba mengarahkan senterku ke bawah, tapi cahayanya tidak bisa menyinari jendela mobil itu.
“Siapa di sana!?” teriak Buck.
Masih tidak ada respon.
Lalu tiba-tiba, pengemudinya mulai membunyikan klakson dengan keras. Suara keras dan tajam mulai menggaung sepanjang malam. Pertama, dua bunyi yang pendek, lalu sebuah suara keras yang berakhir dengan kesunyian. “Apaan tuh? Sandi morse?”, tanya Daisy.
Seakan-akan menjawab pertanyaan kami, ambulan itu mulai membunyikan lagi klaksonnya dengan cepat. Aku bisa melihat siluet pengemudinya bergerak dan meronta-ronta dengan gila sambil menekan klaksonnya. Kelihatannya mereka juga memukuli kepala mereka sendiri dengan tangan mereka, dan bahkan membanting wajah mereka ke setir. Sirene dan lampu mobilnya mati-nyala dengan ritme aneh seperti sebuah musik. Lalu sunyi lagi.
“Kalian mau apa!?”, Buck berteriak dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
Pintu mobilnya mulai terbuka. Secara spontan kami mundur. Pintu terbuka, dan keluarlah si pengemudi itu yang disinari oleh cahaya redup dari lampu kabin. Seorang wanita tua pucat dengan rambut acak-acakan, tubuh yang kurus kering yang kelihatannya memakai semacam gaun putih. Perempuan itu sekilas terlihat seperti hantu asli. Seakan-akan dia hanya terdiri dari paper mache, sosok yang menghantui seperti mayat.
Matanya terlihat merah, memar, dan lelah. Mereka terlihat seperti kesedihan dan kehampaan yang tidak bisa dijelaskan. Dia melihat kami seperti sedang melihat sesuatu di belakang kami. Dia mengarahkan salah satu tangan kurusnya yang panjang, dan meringkukkan jarinya yang bengkok di tangan yang sudah berkeriput. Dia memberi isyarat untuk kami segera turun. Kami hanya bisa berdiri tidak bergerak.
Mungkin dia adalah sebuah roh yang sedang mengunjungi alam manusia untuk malam Halloween. Mungkin ini alasanku pergi ke kuburan. Aku melihat jam tanganku, “12:06”. Pemilihan waktunya sangat menakutkan, seakan-akan kondisi tengah malam ini yang memanggil dia. Pemikiran ini seketika hilang ketika aku melihat wajah teman-temanku yang ketakutan.
Aku kembali mengarahkan pandanganku ke sosok yang mirip nenek tua tadi di kaki bukit. Dia memanggil kami lagi dan tampaknya mulai kehilangan kesabarannya. Dia mengeluarkan teriakan keras yang seperti bercampur dengan darah, yang bisa memecahkan jendela. Aku menutup kupingku dengan tangan dan menunggu sampai dia berhenti. Dia membalikkan badannya dengan panik dan masuk kembali ke ambulans sambil menutup pintunya dengan keras.