Pria itu menatap lurus ke arahku tanpa berkedip. Aku tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana. Awalnya aku bersyukur karena dia menghalangi Theo untuk berlari keluar. Dia tidak berkata apapun. Theo sedang menatapnya, mengibaskan ekornya sambil terengah-engah. Seolah-olah pria itu tidak menyadari bahwa ada anjing di dekatnya. Dia terus menatapku.
Aku ingin mengatakan sesuatu, berterima kasih padanya. Cara dia menatapku seolah-olah dia mengharapkanku untuk mengatakan sesuatu. Aku jadi bingung. Tanpa mengalihkan pandangannya, dia berlutut dan mengangkat Theo di tengkuknya. Theo pun meraung. Aku ingin perintahkan pria itu untuk melepaskan Theo, tetapi sekali lagi, aku hanya bisa terdiam. Mulutku seolah terkunci. Pikiranku rasanya campur aduk. Aku tidak bisa bergerak dan berpikir jernih. Aku hanya bisa melihat.
Pria itu merogoh sakunya, mengeluarkan pisau, dan menggorok leher Theo secepat kilat. Darah mengalir ke tanah yang tertutup salju. Dia mengangkat Theo selama beberapa detik, membiarkan darah Theo membentuk genangan di bawahnya. Pria itu kemudian melepaskannya begitu saja.
Theo jatuh terkejang-kejang di atas salju yang memerah. Sekali lagi, tatapan pria itu tidak lepas dariku. Dia menjatuhkan pisau ke tanah, dan pergi begitu saja. Aku baru bisa bergerak ketika pria itu sudah hilang dari pandanganku. Aku berjalan ke mayat Theo yang mengenaskan, dan berdiri di atasnya. Aku ingin menangis, tapi tidak bisa meneteskan satu air mata pun.
Ibuku keluar, dia pasti khawatir mengapa aku begitu lama mengambil surat. Aku tidak menyalahkannya karena berteriak. Ibu melihatku berdiri di atas mayat Theo yang mengenaskan itu dengan pisau yang masih tergeletak di dekatnya. Tidak perlu seorang jenius untuk mengungkapkan kejadian naas ini. Semuanya dapat tergambarkan dengan sendirinya.
Selama beberapa bulan kedepan, orang tuaku memaksaku menemui psikiater. Ketika ditanya alasan aku membunuh Theo, aku berusaha jelaskan kalau itu bukan aku. Aku juga coba jelaskan tentang pria itu. Aku bisa melihat kalau dia tidak percaya.
“Baiklah,” kata terapis dengan nada sombong. “Jelaskan padaku seperti apa pria ini.”
Saat itulah aku menyadari, aku tidak bisa menggambarkannya. Bukannya aku tidak mengingat wajahnya. Hanya saja… dia tampak begitu umum, aku tidak bisa menggambarkan dirinya tanpa menggambarkan jutaan orang lain di dunia ini. Wajahnya begitu mudah dilupakan. Aku tahu aku menatap pria itu selama lima menit. Orang akan berasumsi bahwa aku pasti bisa mengingat wajah seorang pria yang telah membunuh anjingku yang tidak pernah memutuskan kontak matanya denganku. Aku tahu seperti apa rupanya, tapi otakku tidak bisa menerjemahkan penampilannya ke dalam kata-kata.
Aku tidak menjawab pertanyaan si terapis. Aku hanya merosot ke kursiku. Sepanjang hidupku, pria itu telah muncul beberapa kali. Aku mungkin akan membahasnya lebih detail di cerita yang lain, tetapi yang bisa aku katakan untuk saat ini adalah bahwa pria itu sungguh nyata. Aku mungkin dianggap gila, tapi aku tahu apa yang kulihat hari itu. Aku selalu melihatnya. Entah itu di berita tv di antara kerumunan itu, atau di dalam mimpiku. Pria itu sungguh nyata dan dia selalu mengintai.
CREDITS
Cerita Oleh: DrayMD
source: creepypasta.fandom.com
Diterjemahkan oleh: Atikachan
Dibacakan oleh: PapaChan
Background Music: Horrorin, Myuu, JY
Kamu bisa dukung Podcast ini lewat Trakteer:
GIPHY App Key not set. Please check settings