Semenjak kami berumur 6 tahun, Aku dan Dera tidak terpisahkan – Sahabat terbaik, kami melakukan segalanya bersama. Bahkan ketika jam malam kami tiba dan kami harus kembali ke rumah masing-masing, kami menemukan cara untuk memperpanjang kesenangan.
Untuk hadiah ulang tahunku yang ke sembilan, Aku mendapatkan mainan set untuk menjadi mata-mata. Tidak ada hal yang menarik dalam set tersebut , aku hanya menyimpan sepasang walkie-talkie berwarna hijau. Aku dan Dera menggunakan alat itu untuk berkomunikasi setiap malam hingga kami melewati masa remaja.
Walaupun aku tidak bisa melihatnya, Aku selalu membayangkan kalau kami adalah bayangan cermin dari satu sama lain pada saat itu. kami berdua bersandar punggung dalam kegelapan, menggenggam walkie-talkie kami di tangan kanan. Seringkali, salah satu dari kami akan tertidur mendengarkan cerita dari yang lain. Orang terakhir yang masih bangun akan selalu mengakhiri dengan, โSampai berjumpa lagiโ.
Tradisi obrolan malam kami, beserta dengan ikatan kami yang tidak dapat dirusak ini, bertahan hingga kami berumur 20an. Ini mungkin terlihat aneh, melihat siapapun yang sudah melewati umur 14 tahun berbicara dengan sahabatnya melalui mainan anak-anak, tapi kami berdua masih anak-anak dalam lubuk hati kami yang paling dalam, dan kami menolak untuk melepaskan satu bagian pun dari kenangan itu.
Obrolan malam kami berhenti secara tiba-tiba pada satu malam dengan hujan yang mengguyur begitu lebatnya, ketika Dera, dalam perjalanan pulang dari kantornya, dia mengambil belokan terlalu cepat. Sebuah panggilan telepon masuk pada malam itu, alih alih suara yang biasa terdengar dari walkie-talkie, yang kudengar adalah suara tangisan dari ibunya Dera, menyampaikan kabar bahwa sahabatku itu sudah tiada.
Beberapa hari kemudian aku meletakkan walkie-talkie hijaunya di dalam peti bersamanya. Dia dikubur bersama benda itu ditangannya.
Walau aku tidak bisa membuang walkie-talkieku, aku juga tidak tahan untuk melihat benda itu. Aku menaruhnya dalam laci mejaku, dimana itu tetap tersimpan dengan aman, dimute dan ditinggalkan seperti itu. Tahun-tahun berlalu, dan walaupun aku tidak bisa menutup kekosongan yang ditinggalkan oleh Dera, aku pun melanjutkan kehidupanku, pada akhirnya aku menemukan pasangan hidupku, dan kepuasan.
Aku dan suamiku membeli sebuah rumah di kota yang lain, dan barang-barangku pun dibongkar dan disebarkan dalam kotak-kotak packing berwarna cokelat. Walkie talkieku berada pada salah satu kotak terakhir yang aku buka. Aku menariknya dari bungkus-bungkus kacang, tempatnya bersarang dan menatap pada benda ini. Walau mainan plastik ini nampak ringan, ini terasa begitu berat dengan semua kenangan yang telah diberikan untuk dua anak perempuan yang nakal ini.
Karena penasaran, malam itu aku memutuskan untuk mencoba apakah walkie talkie itu masih berjalan. Aku terkejut, lampu indikator LED pada bagian depan menyala ketika walkie talkie itu kunyalakan. Walau aku tahu bahwa mainan ini sudah tidak berguna karena pasangannya sudah tidak ada, aku menekan tombol untuk berbicara.
โHi, Dera,โ kataku, โAku tahu ini sudah cukup lama, Aku hanya ingin mengatakan aku merindukanmu kawan.โ Aku tidak tahu apa lagi yang ingin ku katakan, jadi aku melepas tombolnya. Aku menunggu sejenak – tidak begitu yakin apa yang ku harapkan – sebelum akhirnya aku menaruh walkie talkie yang tidak bersuara itu diatas meja komputerku.