Tak yakin dengan apa yang harus kulakukan, tak yakin apakah aku bermimpi, dan tak yakin pula apakah aku masih waras ! Aku menemukan diriku sedang melakukan hal yang kulakukan ketika aku masih anak-anak… Ya, aku melakukan obrolan malam bersama sahabatku. Obrolan itu pun berlanjut di malam berikutnya, dan malam berikutnya lagi.
Selama satu minggu, aku bernostalgia bersama temanku. Suaranya selalu melemah saat matahari mulai terbit, dan akhirnya benar-benar sunyi ketika sinar matahari mulai menyelimuti ruangan kerjaku dengan cahayanya. Walkie-talkie itu akan hidup kembali ketika tengah malam tiba, setelah suamiku terlelap.
Anehnya, ini tidak seperti diriku yang sebenarnya. Aku tidak mempertanyakan fenomena ini, tetapi malah menerimanya begitu saja – sebuah kesempatan untuk menjadi anak-anak lagi. Pada hari kesepuluh, suamiku menemukanku di sana, di ruang kerjaku, di tengah-tengah perbincangan. Matanya berat karena mengantuk, menatapku heran. “Ta, kamu lagi ngomong sama siapa ? ”
Aku tahu pada saat itu aku harus mengungkapkan kepadanya rutinitas malamku. Walau aku tidak suka ada orang lain yang mengganggu kedekatan yang sekali lagi kudapatkan bersama Dera, Aku juga gembira untuk memberitahukan kemampuan yang baru saja ku temukan ini, kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang yang kita sayangi yang sebenarnya sudah meninggal.
“Dera Mas!” Aku berkata tanpa berpikir. Suamiku, yang mengetahui masa laluku, langsung waspada, dan melihatku dengan rasa khawatir. “Aku ngobrol dengannya melalui walkie-talkie ini mas,” sambungku lagi.
“Ta,” suamiku berusaha berkata selembut mungkin, “Dera sudah meninggal, dan walkie-talkie itu tidak berfungsi.” Aku kemudian melihat ketika dia membalikkan mainan itu dan membuka penutup belakangnya. Slot dimana seharusnya baterai berada itu….. kosong.
Aku menggelengkan kepalaku, tidak percaya. “Ha ? koq bisa…Aku mendengar suaranya mas, sangat jelas.” Tiba-tiba sebuah suara tawa yang keras keluar dari speaker kecil walkie-talkie itu. “Itu!” Aku berteriak kaget, “Apa mas ga bisa dengerin suara tawa Dera barusan?” Suamiku menatapku dengan rasa takut. kasihan, dan … ia pun menggelengkan kepalanya.
Akhirnya aku berhasil meyakinkan suamiku kalau aku mengalami sedikit gangguan, karena stres dengan pekerjaan baruku. Sayangnya, aku tidak berhasil meyakinkan diriku sendiri kalau semua kejadian itu hanyalah imajinasiku.
Aku tidak menyentuh walkie-talkie itu untuk beberapa minggu lamanya. Aku dan suamiku berusaha menghindari pembicaraan apapun mengenai hal tersebut. Meski logikanya, mana mungkin orang bisa berbicara dengan orang yang sudah lama meninggal dan dikubur, apa lagi menggunakan mainan anak kecil, tapi Aku tidak bisa melepaskan nostalgia yang telah membanjiri perasaanku karena mendengar suara Dera lagi.
Satu bulan berlalu, dan peringatan tahunan kematian Dera pun tiba. Walkie-talkie itu tetap berada di dalam laci, ditutup. Mengingat Aku tidak akan pernah move on kalau benda itu masih dalam jangkauanku, Aku pun berencana untuk membuangnya. Karena takut arwah Dera menghantui benda itu, jadi aku memilih untuk tidak membuangnya ke tempat sampah. Kupikir akan lebih baik untuk membawanya saja ke salah satu tempat dimana Aku dan Dera biasa bermain ketika masih kecil.