in

The Room at the Bottom of the Stairs (Ruangan di Bawah Tangga)

Lalu terdengar teriakan dari arah pintu kamarku, dan aku tidak mungkin keliru untuk suara yang satu ini. “Tinggalkan anak-anakku!” teriak ibuku. “Pergi! Pergi dari sini! Tinggalkan tempat ini! Dalam nama Yesus dan Maria dan Ganesha dan Allah dan bahkan dalam nama Horus aku memerintahkanmu untuk meninggalkan keluarga ini dalam damai, SEKARANG!!”

Suara reptil di atas kepala tempat tidur ku pun mendesis seperti air pada kuali yang panas, dan untuk beberapa saat, suara itu memberat menjadi sesuatu yang lebih gelap dan lebih besar, juga lebih jahat. Tapi, kemudian itu menghilang. Mereka semua menghilang. Tidak ada lagi tekanan yang menahanku, dan sosok-sosok yang berkumpul di sekitarku pun lenyap.

Aku langsung berlari dari tempat tidurku ke pelukan ibuku. Menangis dalam pelukannya seperti anak berusia empat tahun. Ibu memelukku dengan erat dan mengusap kepalaku, kemudian dia memanggil Joey, yang keluar dari dalam lemari pakaianku, terlihat pucat dan gemetar.

Fajar pun tiba dan kami bertiga berkumpul di dapur, berbicara dengan suara yang kecil sambil memegang secangkir teh yang panas untuk mencari kenyaman. Kami telah menghabiskan beberapa jam, berdiskusi tentang apa yang harus kami lakukan berikutnya. Untuk pertama kalinya, kami membicarakan kemungkinan untuk pindah, tetapi kami semua menolak gagasan itu.

Tentu saja kami semua ketakutan, tetapi kami juga bangga dan sudah bertekad. Bahkan dalam kondisi ketakutan pun, kami tahu betul kalau kami pindah sekarang, itu akan benar-benar menghancurkan keuangan kami.

Pada akhirnya kami memutuskan untuk melakukan pembersihan atau pengusiran setan sekali lagi, tetapi kali ini kami mendapatkan bantuan dan melakukannya dengan benar.

Pada siang itu, kami memiliki kumpulan yang sangat aneh di ruang tamu: seorang pastor Kristen dari gereja alternatif yang aneh di sisi kota, seorang pendeta Pagan yang ibu kenal ketika dia masih kuliah dulu, seorang wanita berambut putih bersetelan jas sempurna yang aku tidak pernah tahu apa yang dilakukannya, dan beberapa orang lainnya.

Mereka semua berkumpul di lorong, di atas tangga dan melakukan ritual mereka masing-masing. Sedangkan aku, Joey dan Ibu berdiri di anak tangga bawah dan melakukan ritual kami sendiri.

“Urusanmu di sini sudah selesai”, Ibu berkata dengan tegas pada pintu yang tertutup. Mata Horus itu telah muncul kembali, hitam, jelas dan sempurna. Tidak ada tanda kalau mata itu pernah dicat. “Sekarang, ini adalah tempat kami” lanjut ibu. “Kau harus pindah. Jika kau tidak bisa, atau tidak ingin pindah, maka tinggallah di ruangan ini, tetapi wilayah lain di rumah ini dilarang untukmu.”

Ketika aku dan Joey menaruh satu tangan kami ke pundak Ibu, dia mengecat mata itu dengan cepat. Tidak ada lagi hentakan marah dari sisi lain pintu itu. Yang ada adalah suara hening, seakan-akan ruangan itu dipenuhi dengan orang yang sedang menahan nafas mereka.

Ketika garis terakhir dari gambar yang mengganggu itu lenyap di bawah kuasnya, ibu mencondongkan tubuhnya ke arah pintu dan berbisik, “Oh ya, kalau kalian berani menyakiti putraku lagi, aku akan membakar rumah ini tanpa sisa. Kalian mengerti?” Ibu mengatakan itu dengan halus, tetapi aku bisa mendengar kalau suaranya bergetar karena marah.

What do you think?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Wanita Di Dalam Oven

A Woman in the Oven (Wanita Di Dalam Oven)

The Final Victim (Korban Terakhir)