in

The Room at the Bottom of the Stairs (Ruangan di Bawah Tangga)

Ini adalah saat dimana aku yakin kalau rumah kami memang dihantui. Saat ibu mulai mengoleskan kuasnya pada pintu, terdapat bunyi ketukan tipis dari belakang pintu. Dari dalam ruangan kosong yang terkunci. Awalnya suara itu tidak begitu jelas, suara desisan yang berputar. Seperti suara tangan yang membelai pintu itu perlahan dari bagian sebelah.

Perlahan suara itu menjadi lebih keras. Menurut ibu, dia tidak pernah ragu. Sama seperti ketika dia mendengar ketukan di jendelanya. Ibu menolak untuk menghiraukan apapun yang ada di balik pintu, dan terus mengecat.

Suara desisan itu menjadi garukan, kemudian meningkat menjadi ketukan, dan ketukan pun menjadi hentakan. Aku bisa melihat pintu itu bergetar, dan aku merasa yakin kalau kayu tipis itu akan terbelah dari serangan tersebut, kemudian… aku tidak tahu. Mungkin akan ada sesuatu yang keluar.

Selain suara hentakan, aku juga bisa mendengar kalau ibu menyanyikan lagi My Sweet Lord ciptaan George Harrison. Itu merupakan salah satu lagu favoritnya.

Setelah sesuatu yang terasa seperti berjam-jam, kegaduhan itu pun berakhir. Hentakan itu berhenti tepat ketika ibu mengoleskan cat terakhir untuk menutupi tinta hitam tersebut dengan warna krem. Namun entah bagaimana, keheningan itu jauh lebih mengejutkan dari pada suara-suara yang baru saja kudengar.

“Selesai!”, kata ibu dengan ceria, seolah-olah  dia baru saja menyelesaikan pekerjaan biasa, seperti mencuci piring. “Oke. Kita biarkan cat itu kering. Besok ibu akan melapisnya satu kali lagi.” Ibu menutup kaleng cat dan untuk pertama kalinya semenjak dia mulai mengecat, dia melihat padaku. Senyuman pada wajahnya adalah sesuatu yang dipaksakan. Aku bisa melihat matanya lelah. Hal itu benar-benar menguras tenaga ibu. Namun, aku merasa kalau aku harus ikut berpura-pura.

“Teh?” tanyaku sambil menirukan suara riangnya yang palsu.

“Ide bagus”, balasnya. “Tolong ambilkan cerek, Ibu harus membilas kuas ini dulu.” Satu jam berikutnya terasa begitu aneh, seperti kami sedang berakting pada suatu pertunjukan pantomim yang garing.

Kami tidak membicarakan apa yang terjadi ketika ibu mengecat pintu itu, hanya membuat beberapa gelas teh dan membicarakan apa yang sudah terjadi selama satu minggu terakhir. Aku menanyakan tentang pekerjaannya. Ibu menanyakan tentang sekolahku. Kami bahkan memaksa diri untuk memakan beberapa biskuit cokelat, meskipun itu mungkin terasa seperti kami sedang memakan pasir.

Aku baru sadar sekarang, setelah bertahun-tahun dari kejadian itu. Tidak ada dari kami yang pernah menyarankan untuk pindah rumah. Kami baru saja tinggal di rumah itu selama beberapa bulan, tetapi kami mempunyai rasa kepemilikan yang kuat terhadap rumah itu.

Rumah itu adalah suatu tempat yang aman untuk kami, rumah kami. Kami baru saja lari dari rumah sebelumnya dari satu monster, dan aku rasa, kami semua sudah menentukan kalau kami tidak akan lari lagi. Ya, lagian kalau dipikir-pikir, kami juga sudah tidak mampu untuk berpindah. Semua biaya untuk pindahan itu membuat keuangan kami benar-benar kering.

Ibu memang memiliki penghasilan yang lumayan, tetapi masih membutuhkan beberapa bulan sebelum kami bisa terbebas dari hutang. Belum lagi, kontrakan lain pasti akan lebih mahal. Ya, tidak semua rumah memiliki sejarah supranatural yang aneh untuk membuat harganya murah.

What do you think?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Wanita Di Dalam Oven

A Woman in the Oven (Wanita Di Dalam Oven)

The Final Victim (Korban Terakhir)