Baru-baru ini hidupku jadi dipenuhi nasib buruk.
Aku baru saja dipecat dari pekerjaanku, menganggur selama berminggu-minggu dan berubah menjadi berbulan-bulan. Meskipun sudah banyak lamaran yang aku kirim… tapi masih belum ada titik terang. Bahkan kartu kreditku sudah mencapai batas penggunaannya. Kesedihan dan rasa benci terhadap diri ini, mulai meracuni kehidupanku, hingga ke titik di mana aku percaya semua ini tidak bisa disembuhkan.
Momen paling memalukan yang baru saja terjadi kepadaku adalah ketika aku pergi berbelanja. Kasir yang berusaha untuk terus tersenyum dan antrian yang mengular di belakang terus menatapku, ketika aku berusaha mencari uang sisa di dompet untuk membayar belanjaanku. Dan sialnya, tidak ada sedikitpun uang yang tersisa.
Setelah itu aku pergi ke taman Woodharrow – sebuah lahan terpencil yang sepi – untuk menenangkan pikiranku. Waktu aku tiba.. tamannya masih sepi, jadi aku memutuskan untuk berjalan menyusuri taman itu tanpa tujuan yang jelas. Rasa lapar mulai menghampiriku, sebuah musuh bebuyutan yang tidak lagi pernah bisa kulawan.
Langit yang tadinya cerah, mendadak menjadi gelap dan hujan pun mulai turun – dan sialnya aku tidak membawa payung.
Saking larutnya dalam kesedihan, aku hampir tidak merasakan kalau ada yang menarik lengan jaketku.
Kalau kuingat-ingat lagi kejadian itu, aku berharap kalau aku tetap berjalan tanpa terlalu banyak melihat ke bawah. Aku berharap aku tidak menghiraukan permintaan yang terdengar halus itu. Aku berharap… aku tidak menganggap kalau tangan dengan sentuhan yang tidak berdaya itu, tidak punya kekuatan yang begitu menakutkan.
Tapi dengan bodohnya aku berhenti berjalan, dan semenjak pertemuan itu aku sama-sekali tidak bisa hidup dengan tenang.
Aku melihat ke bawah, dan di sampingku berdiri dua anak kecil, yang memberiku sensasi terkejut yang tidak menyenangkan. Keduanya tidak lebih tinggi dari pinggangku, yang satu lebih tinggi dari yang lain, dan mereka berdua mengenakan jas hujan hitam yang lebih cocok untuk pemotretan dengan suasana sepia dibanding pakaian untuk anak-anak modern.
Mereka berdua memakai topi fedora yang menutupi hampir seluruh wajah kecil mereka. Walaupun aku tahu kalau yang tinggi adalah laki-laki dan yang pendek perempuan, aku tidak bisa melihat wajah mereka sepenuhnya, selain pipi mereka yang terlihat pucat. Bibir mereka hampir tidak berwarna, seolah mulut mereka hanyalah sebuah irisan tipis.
Tubuh mereka bulat tapi tidak terlihat lucu atau menggemaskan seperti anak-anak pada umumnya – malah mereka lebih terlihat seperti sangat gendut, membengkak seperti mau pecah. Rambut pirang tipis yang tidak tersisir, keluar dari topi mereka seperti jerami kusut, kering bagai tulang yang rapuh.
“Halo”, sapaku, sambil berusaha terdengar gembira.